Dewan Pimpinan Pusat

Banyak Milenial Direkrut Teroris, GMNI Minta Perhatian Serius Pemerintah

Aksi teror kini makin sering dilakukan oleh anak-anak muda. Peristiwa pengeboman di sebuah gereja Katolik di Makassar, Sulawesi Selatan, pelakunya merupakan seorang pemuda kelahiran tahun 1995. Pelaku penyerangan Mabes Polri juga kelahiran tahun 1990-an, keduanya termasuk ke dalam generasi milenial. BNPT menyebutkan sekitar 500 orang telah bergabung dengan ISIS, yang sebagian besar adalah anak-anak muda.

Melihat hal ini Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino menyampaikan bahwa perekrutan teroris saat ini mengincar kawula muda atau generasi milenial. Generasi muda yang duduk di bangku Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi menjadi sasaran empuk bagi jaringan teroris untuk melakukan regenerasi.

“Banyak pelaku teroris kini justru generasi milenial, anak muda menjadi sasaran empuk jejaring terorisme untuk mempertahankan regenerasi”, papar Arjuna

Menurut Arjuna, banyak anak muda yang bersimpati dengan ISIS bahkan rela pergi ke Suriah untuk mewujudkan keyakinannya tentang kekhalifahan. Hal ini menurut Arjuna semakin mengkhawatirkan karena banyak dari anak muda tersebut direkrut melalui media sosial. Banyak dari anak muda terpapar terorisme karena kerap mengkonsumsi konten berita mengenai propaganda ISIS di media sosial tanpa mengecek kebenarannya.

“Banyak dari mereka bersimpati dengan ISIS karena mengkonsumsi konten di media sosial. Banyak situs-situs yang berisi propaganda ISIS menjadi bacaan favorit anak muda”, lanjut Arjuna

Banyaknya anak muda yang direkrut menjadi teroris menurut Arjuna merupakan gambaran kegagalan program deradikalisasi yang selama ini dicanangkan pemerintah. Manurut Arjuna, program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah selama ini hanya berorientasi pada “proyek” semata. Tanpa ada perencanaan, arah dan indikator yang jelas. Sehingga program deradikalisasi hanya terselenggara secara formalitas namun tidak mencapai terget yang diinginkan.

“Selama ini program deradikalisasi semata-mata hanya menjadi proyek, tidak ada arah, perencanaan serta indikator yang jelas. Jadi sulit mencapai terget yang diinginkan. Artinya program deradikalisasi gagal”, sambung Arjuna

Bahkan menurut Arjuna, sedikit sekali perhatian pemerintah terhadap deradikalisasi di kalangan anak muda. Banyak program pemerintah di bidang kepemudaan justru hanya menghabiskan anggaran. Perhatian pemerintah terhadap program strategi pencegahan terorisme dan ekstremisme di kalangan anak muda relatif minim bahkan terabaikan.

“Minim sekali program kepemudaan yang dicanangkan pemerintah yang difokuskan pada strategi pencegahan terorisme dan ekstremisme di kalangan anak muda. Banyak program kepemudaan hanya sekedar menghabiskan anggaran, tidak ada yang menyasar pada deradikalisasi secara komprehensif”, tutur Arjuna

Untuk itu menurut Arjuna, untuk mencegah agar anak muda tidak terjerumus pada konten-konten ekstremis dan masuk pada jebakan perekrutan teroris, diperlukan penciptaan narasi-narasi tandingan di media sosial yang mampu melawan godaan konten-konten terorisme dan ekstremisme. Dan ini perlu dukungan dan perhatian pemerintah, sehingga organisasi mahasiswa yang juga berupaya mencegah merebaknya pandangan ekstremisme dan perekrutan teroris tidak bergerak sendiri (lone wolf).

“Program deradikalisasi di kalangan anak muda perlu menjadi perhatian pemerintah, jika pemerintah serius mempersempit ruang perekrutan terorisme. Sehingga organisasi pemuda yang bergerak di garis nasionalisme tidak bergerak sendiri melawan jejaring sistematis perekrutan terorisme”, tutup Arjuna