Dewan Pimpinan Pusat

Dialog Bersama PPI, Begini Pandangan DPP GMNI Soal Sumpah Pemuda Ke-93 Tahun

JAKARTA – Dalam dialog interaktif yang bertajuk “Merajut Kebhinekaan di Hari Sumpah Pemuda”, Minggu, 31 Oktober 2021 yang diadakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia. Acara ini diisi oleh beberapa narasumber diantaranya Koordinator Dewas Pengawas PPI Dunia, dan Ketua Umum organisasi Cipayung Plus termasuk Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino.

Menurut Arjuna, yang perlu menjadi headline adalah pada saat itu (1928) Indonesia masih Hindia Belanda sudah memiliki trend politik baru yaitu ke-indonesiaan, artinya ketika itu pemuda menemukan imajinasi bersama dan menemukan ide bersama tentang dunia pasca penjajahan.

“Lalu bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, dimana waktu itu pemuda telah melampaui identitas primordialnya, karena disitu tersemai ide Republikan, apapun suku, ras dan agama kita sama. Itu juga momen kita bahwa ada identitas kita sebagai bangsa Indonesia mereka penjajah,” ujar Arjuna dalam dialaog tersebut.

Baginya, bila tidak ada sumpah pemuda mungkin masih perjuangan antar daerah karena sebelum kolonialisme di daerah ada kerajaan yang cukup kuat, ada kemungkinkan sumpah pemuda ini menyerap demokrasi dan nasionalisme atau filosofi barat oleh para pelajar yang saat itu mengenyam pendidikan di sekolah barat, yang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia seperti Hatta, Tan Malaka, dan Sjahrir.

“Atau gerakan Turki muda yang dilakukan oleh Kemal Atatruk yang cukup populer dikalangan pemuda saat itu. Lalu bagaimana dengan saat ini? Kita lihat di amerika para pemuda sempat menduduki wall street, sebagai pusat perbankan dunia. Ternyata ini banyak digerakkan oleh pemuda, ini tren yang menarik pasca Krisis 2008 mereka membahas soal social justice warior (sjw) seperti ketimpangan, lingkungan dan diskriminasi seperti black lives matter. Ini sangat progresif,” paparnya.

Ketua DPP GMNI menilai di Amerika pemuda menyukai welfare state (negara kesejahteraan), lalu memperjuangkan tentang perlindungan pemanasan global dan pajak progresif untuk orang yang super kaya, mereka melihat ada yang tak beres.

“Di luar sana ada bola salju munculnya gerakan-gerakan itu, dan ini mungkin jadi tren global. Di Indonesia sendiri saya belum tau pasti, tapi mereka berminat pada isu kesejahteraan. Disini saya melihat ada hal yang sama,” ujarnya.

Tapi bagaimana ini bisa jadi gerakan yang baik, point lainnya adalah telah muncul ide-ide progresif yang seperti menjadi ide baru di kalangan pemuda. Para pemuda mendukung seperti menolak aneksasi oleh Amerika.

“Di Indonesia sendiri ada residu-residu politik, seperti jejaring patronase lama. Di Indonesia ada teritori yang spesial yang tak bisa disamakan dengan diluar seperti ada politik dinasti, dan konstalasi yang tak memberikan ruang untuk pemuda. Sehingga banyak kaum muda yang terserap dalam lintasan politik oligarki,” ungkap Arjuna.

Terakhir, arjuna menyerukan pemuda harus sering berdiskusi untuk mendesign ulang seperti apa sumpah pemuda saat ini, karena ada beberapa hal yang berubah. Namun, yang terpenting para pemuda tak kehilangan cara membaca situasi.

“jangan sampai hanya menjadi partisan atau buzzer, pada intinya, kita harus bisa membaca situasi,” pungkasnya.