Dewan Pimpinan Pusat

DPP GMNI Minta Implementasi Jaringan 5G Perhatikan Aspek Keadilan

JAKARTA – DPP GMNI berpendapat bahwa implementasi jaringan 5G haruslah memperhatikan aspek keadilan. Karena menurut Arjuna, apabila pengembangan jaringan 5G tidak memperhatikan aspek keadilan sosial maka pembangunan jaringan 5G hanya akan memperlebar jurang ketimpangan semata.

Hal ini, merespons wacana Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang telah menguji coba layanan jaringan internet generasi kelima alias 5G sebanyak 12 kali sejak 2017 hingga 2020. Dimana, hal ini dilakukan bersama lima operator seluler nasional, pengembangan 5G masuk dalam ASEAN Digital Masterplan (ADM 2025).

Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino menjelaskan, selain Indonesia, beberapa negara ASEAN menguji coba layanan ini, sejumlah negara bahkan sudah memasuki tahap implementasi komersial, meski terbatas. Singapura misalnya, koneksi 5G sudah mencakup 2,28 persen dari total pengguna seluler. Sedangkan Thailand 0,8 persen dan Filipina 0,07 persen.

“Datanya ada, tidak mengada-ada. Bahwa berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020, pelaku e-commerce di Indonesia masih didominasi kelas orang kaya, yaitu sebanyak 63,39%. Sementara, pelaku e-commerce dari kelas menengah sebanyak 34,62 persen dan kelas bawah 18,92 persen,” kata Arjuna, Kamis (8/04/2021).

Hal ini menurut Arjuna, jika tidak diatasi maka digitalisasi hanya mempertebal jurang ketimpangan dan menghambat distribusi kesejahteraan. Indonesia masih mengalami kesenjangan infrastruktur teknologi informasi, akses dan literasi digital sehingga pemerintah perlu memastikan pengembangan jaringan 5G dapat menyentuh mereka yang kurang mampu, mereka yang ada di pelosok desa dan para pelaku usaha kecil dan menengah. 

“Hanya 54% warga berpendapatan rendah memiliki akses internet. Sementara persentase warga yang bekerja sebagai buruh, pekerja rumah tangga, satpam, supir, pedagang warung, kaki lima, petani, nelayan, peternak yang memiliki akses internet ada di bawah 70%. Melihat kondisi ini, ditakutkan pengembangan jaringan 5G hanya bersifat eksklusif untuk kalangan kelas sosial menengah-atas saja,” urai Arjuna.

Bahkan menurut Arjuna yang lebih menyedihkan masih ada 12 ribu desa yang belum tersambung internet, rata-rata masih terbentur dengan ketersediaan infrastruktur dasar. Infrastruktur dasar pendukung seperti listrik, kerap kali menjadi hambatan untuk membangun akses jaringan telekomunikasi ataupun akses data di wilayah.

Jika ini tidak diatasi, maka kesenjangan dan ketergantungan antara kota yang dianggap sebagai “pusat” pembangunan dengan desa yang selalu menjadi “periferi” dari program pembangunan.

“Masih ada 12 ribu desa yang belum tersambung internet, bahkan pasokan listrik pun tidak ada sama sekali. Yang ditakutkan, pengembangan jaringan 5G hanya akan memperkuat antara “pusat”, kota yang dianggap maju dengan daerah terpencil yang selama ini terpinggirkan (periphery),” ungkap Arjuna.

Arjuna juga menyoroti ketimpangan akses digital di kalangan pelaku usaha, data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) per Juli lalu mencatat baru ada 9,4 juta UMKM yang memiliki akses digital dari sekitar 60 juta UMKM di seluruh Indonesia.

Menurut Arjuna, akses digital rata-rata dimiliki oleh usaha besar, tentu ini harus menjadi perhatian pemerintah. “Akses UMKM kita terhadap teknologi digital masih rendah. Hal ini berbahaya, karena jika tidak diatasi maka pengembangan jaringan 5G hanya menguntungkan usaha besar, mematikan usaha kecil. Dan yang lebih parah, market place kita, e-commerce kita hanya dibanjiri produk impor saja. Ini harus menjadi perhatian serius dari pemerintah,” tutup Arjuna. (*/DPP-GMNI).