OPINI – Peringatan Food and Agriculture Organization (FAO) terkait ancaman krisis pangan nasional akibat dari Pandemi Covid-19 membuat pemerintah mengambil kebijakan politik pangan yaitu Food Estate. Apakah kebijakan ini sikap reaksioner pemerintah? atau perwujudan dari Visi-Misi Jokowi dan Prabowo pada Pilpres 2019?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan terkait Program Food Estate ini akan dilaksanakan di dua lokasi, yakni di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara tepatnya di Kabupaten Humbang Hasundutan. Dengan perincian target luasan yang ingin dicapai yakni, 164.598 hektar di Kalimantan Tengah dan 30.000 hektar di Humbang Hasundutan – Sumatera Utara.
Presiden Jokowi pun menunjuk Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto sebagai Leading sector program Lumbung Pangan Nasional atau Food Estate. Prabowo Subianto mendapatkan tugas untuk mengurus cadangan pangan singkong. Dia mengatakan bahwa pada 2021 dia menargetkan luas area lahan singkong 30.000 hektare. Selanjutnya akan meningkat hingga mencapai 1,4 juta hektare pada 2025.
Melansir Kompas.id, 14 Juni 2020, untuk Kalimantan Tengah dari 164.598 hektar tersebut rinciaanya, 85.456 hektar merupakan lahan intensifikasi atau lahan yang sudah digunakan dan 79.142 hektar lagi adalah lahan perluasan baru yang saat ini masih berupa rawa ataupun hutan sekunder.
Sedangkan untuk Humbang Hasundutan – Sumatera Utara belum ada perincian tentang penyediaan lahan 30.000 hektar yang akan digunakan untuk Program Food Estate termasuk sumber lahannya. Melansir humbanghasundutankab.go.id, 30 september 2020, masih 1000 hektar lahan yang sudah dirincikan untuk tahun 2020, dengan lokus kecamatan Pollung.
Refleksi Visi – Misi Calon Presiden
Keputusan Presiden Jokowi untuk bekerjasama dengan mantan rivalnya (Prabowo) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu, membuat kita perlu untuk merefleksikan kembali segmen kedua debat Capres 2019 pada 19 Februari 2019 silam. Saat itu topik debatnya adalah pendalaman visi- misi dan penyampaian program-program terkait Pangan.
Jokowi dalam paparannya menyampaikan strategi yang akan ditempuhnya untuk menghadapi revolusi industri 4.0 pada sektor pertanian yang mana sebagian besar pelakunya masih skala kecil dan tradisional adalah dengan menyiapkan pembangunan sumber daya manusia. Jokowi juga menyampaikan bahwa pembangunan ekosistem offline dan online perlu dilakukan agar negara tidak tertinggal dalam menyongsong revolusi industri 4.0.
Melansir databoks.katadata.id, 25 November 2016, pada 2015, Pusat Penelitian dan Pengembangan Penyelenggaraan Pos dan Informatika (Puslitbang PPI) melakukan survei pemanfaatan teknologi informasi (TIK) di kalangan petani dan nelayan. Hasilnya, tingkat literasi petani dan nelayan masih rendah. Jenis peralatan paling banyak digunakan adalah televisi, ponsel, dan radio.
Lalu berdasarkan hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018, dari total 33.037.806 petani laki-laki dan perempuan, hanya 4.501.415 petani yang menggunakan internet selama setahun yang lalu. Berdasarkan data hasil survei tersebut, bisa disimpulkan bahwasanya sumber daya manusia petani Indonesia belum siap dalam menghadapi revolusi industri 4.0.
Jokowi juga menyampaikan komitmennya terhadap lingkungan hidup pada saat debat tersebut yakni untuk mejaga agar kebakaran hutan dan kebakaran lahan gambut tidak terjadi lagi.
Dari berbagai sumber mengatakan, pengembangan program Lumbung Pangan Nasional atau Food Estate di Kalimantan Tengah oleh Pemerintahan Jokowi ternyata memilih lokasi bekas Pengembangan Lahan Gambut (PGL) era Presiden Soeharto. Hal ini dinilai beberapa aktivis lingkungan dan akademisi bertentangan dengan komitmen terdahulu Presiden Jokowi terhadap lingkungan hidup. Mereka menyampaikan kekhawatirannya bahwa akan terjadi kerusakan ekologi pada lahan gambut tersebut bila program Food Estate tersebut tetap dijalankan.
Pun dengan Prabowo pada saat segmen kedua debat Capres 2019, menyampaikan keinginannya pada sektor pangan untuk mewujudkan swasembada pangan serta mensejahterahkan petani dengan konsep berdikarinya.
Namun yang paling menarik saat debat Capres tersebut adalah ketika Pak Jokowi dan Pak Prabowo Subianto diberikan pertanyaan “bagaimana komitmen dan strategi bapak dalam menjalankan reforma agraria?”, dan jawab Jokowi “Saya tau pak prabowo memiliki lahan yang sangat luas di Kaltim sebesar 220.000 hektar dan juga di aceh tengah 120.000 hektar, saya hanya ingin menyampaikan bahwa pembagian-pembagian seperti ini tidak dilakukan masa pemerintahan saya.”
Merespon pernyataan tersebut sekaligus untuk memperlihatkan teguhnya komitmen bapak Prabowo terhadap sektor pangan dan reforma agraria, beliau menegaskan dengan pernyataan “tanah yang saya kuasai ratusan ribu dibeberapa tempat itu benar, tapi itu adalah HGU (Hak Guna Usaha), itu adalah milik Negara, jadi setiap saat Negara bisa ambil kembali dan kalau utuk Negara saya rela mengembalikan itu semua, tapi daripada jatuh ke orang asing lebih baik saya yang kelola karena saya nasionalis dan patriot.”
Saat ini, apabila pemerintah tetap ingin menjalankan program Lumbung Pangan Nasional atau Food Estate, solusinya adalah dengan menagih komitmen Prabowo ketika debat kedua capres 2019 tersebut, karena Pak Prabowo sendiri pun mengatakan bahwa ia adalah seorang nasionalis dan patriotis sejati, yang rela memberikan segalanya demi terwujudkan Swasembada Pangan yang juga ia cita-citakan.
Melalui refleksi ini, harapanya baik bapak Jokowi dan Prabowo tidak lupa bahkan ingkar terhadap Visi-Misi yang pernah mereka debatkan dulu ketika Pilpres. Tidak perlu ada lagi perdebatan soal Pangan antara Jokowi dan Prabowo, hanya tinggal merealisasikan semua visi- misi dan program-program yang telah disampaikan mereka pada segmen kedua debat Capres kala itu serta merawat ingatan atas ucapan mereka.
Maman Silaban
Mahasiswa Pascasarjana IPB, Ketua DPP GMNI Bidang Politik Periode 2019-2022.